Gambaran seorang muslim yang maju dan prestatif adalah “Ruhbaanun billaili, firsaanun binnahaar”! ibarat rahib dalam kualitas ibadahnya dan laksana singa dalam kualitas semangat jihadnya. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana caranya untuk menjadi sosok pribadi muslim yang maju? Salah satu kuncinya yang utama adalah kemampuan menggenggam waktu. Secara syariat waktu yang berjalan dalam sehari semalam adalah 24 jam. Masalahnya, seberapa besar seorang muslim mampu menggunakan waktu yang telah disediakan Allah tersebut? Dengan rentang waktu sepanjang itu sebagian orang ada yang mampu mengurus dunia, sebagian yang lain malah bisa mengelola perusahaan raksasa dengan sukses, bahkan sebagian yang lainnya lagi sanggup mengurus berjuta-juta manusia.
Akan tetapi, ternyata ada juga sementara orang yang selama dua puluh empat jam tersebut mengurus diri sendiri saja tidak sanggup. Padahal bukankah jatah waktu yang dimilikinya sama? Bila demikian halnya, maka jangan salahkan siapapun kalau kita tidak pernah merasakan gemilang dan anggunnya hidup ini.
Hal pertama yang harus dicurigai adalah bagaimana komitmen kita terhadap waktu yang kita jalani ini. Hendaknya ikhtiar mengevaluasi diri menjadi bagian yang sangat dipentingkan di dalam kerangka agenda aktivitas hidup keseharian kita. Kalaulah kita termasuk orang yang sangat menganggap remeh atas berlalunya waktu, tidak merasa kecewa manakala episode pertambahan waktu itu tidak menjadi saat bagi peningkatan kemampuan diri, maka berarti kita memang akan sulit menjadi maju dalam kancah pertarungan hidup ini.
Ingat, kita telah, sedang dan akan senantiasa berpacu dengan waktu. Satu desah nafas adalah satu langkah menuju maut. Alangkah besarnya kerugian yang menimpa diri kita manakala bersamaan dengan banyaknya keinginan, melambungnya angan-angan dan cita-cita serta berbuncah-buncahnya harapan untuk dapat menggapai sesuatu, namun tidak seraya meningkatkan kemampuan.
Padahal setiap detik, menit dan jam adalah peluang bagi peningkatan kemampuan dalam hal apapun yang secara sunnatullah kita berpeluang menggalinya. Adakah itu dalam bidang keilmuan, kemampuan dalam hal pengembangan kepribadian diri, kemampuan dalam hal peningkatan kualitas ibadah dan seterusnya. Namun sebaliknya bagi siapapun yang di dalam dirinya tidak ada sedikitpun gejolak ingin peningkatan mutu hidup. Ibadah tidak semakin khusyuk dan ikhlas, hati tidak semakin tertata baik, ilmu tidak semakin bertambah, jangan heran, kalau yang tersisa hanyalah angan-angan belaka! Tidak lebih dari itu.
Waspadalah terhadap waktu setiap waktu yang dilalui harus membuahkan peningkatan kualitas diri. Hendaknya kita tak sekedar bekerja keras, tetapi yang jauh lebih baik adalah bahwa kita harus mampu bekerja keras sekaligus efektif. Betapa banyak orang yang sibuk bekerja, namun seraya dengan itu dia pun sibuk dengan barang yang tertinggal, sibuk lupa, dan sibuk mencari sesuatu. Tegasnya, banyak orang yang tampak sibuk, tetapi ternyata tidak efektif.
Untuk menjadi orang yang efektif dalam mengatur waktu, kita memang harus adil dalam membaginya. Ada hak untuk belajar, hak untuk berkumpul dengan keluarga, hak untuk ibadah, hak untuk peningkatan diri, hak untuk melakukan evaluasi, hak untuk beristirahat dan semuanya harus dibagi secara adil dan proporsional. Sibuk dan hebatnya bekerja misalnya tanpa dibarengi dengan istirahat bahkan tanpa diiringi mantapnya ibadah kepada Allah, semua itu hanya menunggu waktu yang suatu saat akan menjadi boomerang yang berbalik menyerang kita.
Karenanya Allah azza wa jalla berfirman :
Kunci efektivitas adalah manakala kita selesai menuntaskan suatu urusan, segera bersiaplah untuk mengerjakan urusan lainnya. Lebih dari semua itu adalah bagaimana menjadikan segalanya sebagai ladang amal dalam rangka beribadah kepada Allah Rabbul Izzati. Bagaimanapun, pada akhirnya kepada Tuhanmulah engkau akan kembali. Ibda bi nafsik….!!
ÿÿWallahu ‘alam bisshawaabÿÿ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar