blog owner

blog owner
erroze zone modification

Minggu, 26 Juni 2011

Menggenggam Waktu


Gambaran seorang muslim yang maju dan prestatif adalah  “Ruhbaanun billaili, firsaanun binnahaar”! ibarat rahib dalam kualitas ibadahnya dan laksana singa dalam kualitas semangat jihadnya. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana caranya untuk menjadi sosok pribadi muslim yang maju? Salah satu kuncinya yang utama adalah kemampuan menggenggam waktu. Secara syariat waktu yang berjalan dalam sehari semalam adalah 24 jam. Masalahnya,  seberapa besar  seorang muslim mampu menggunakan waktu yang telah disediakan Allah tersebut? Dengan rentang waktu sepanjang itu sebagian orang ada yang mampu mengurus dunia, sebagian yang lain malah bisa mengelola perusahaan raksasa dengan sukses, bahkan sebagian yang lainnya lagi sanggup mengurus berjuta-juta manusia.
Akan tetapi, ternyata ada juga sementara orang yang selama dua puluh empat jam tersebut mengurus diri sendiri saja tidak sanggup. Padahal bukankah jatah waktu yang dimilikinya sama? Bila demikian halnya, maka jangan salahkan siapapun kalau kita tidak pernah merasakan gemilang dan anggunnya hidup ini.
Hal pertama yang harus dicurigai adalah bagaimana komitmen kita terhadap waktu yang kita jalani ini. Hendaknya ikhtiar mengevaluasi diri menjadi bagian yang sangat dipentingkan di dalam kerangka agenda aktivitas hidup keseharian kita. Kalaulah kita termasuk orang yang sangat menganggap remeh atas berlalunya waktu, tidak merasa kecewa manakala episode pertambahan waktu itu tidak menjadi saat bagi peningkatan kemampuan diri, maka berarti kita memang akan sulit menjadi maju dalam kancah pertarungan hidup ini.
Ingat, kita telah, sedang dan akan senantiasa berpacu dengan waktu. Satu desah nafas adalah satu langkah menuju maut. Alangkah besarnya kerugian yang menimpa diri kita manakala bersamaan dengan banyaknya keinginan, melambungnya angan-angan dan cita-cita serta berbuncah-buncahnya harapan untuk dapat menggapai sesuatu, namun tidak seraya meningkatkan kemampuan.
Padahal setiap detik, menit dan jam adalah peluang bagi peningkatan kemampuan dalam hal apapun yang secara sunnatullah kita berpeluang menggalinya. Adakah itu dalam bidang keilmuan, kemampuan dalam hal pengembangan kepribadian diri, kemampuan dalam hal peningkatan kualitas ibadah  dan seterusnya. Namun sebaliknya bagi siapapun yang di dalam dirinya tidak ada sedikitpun gejolak ingin peningkatan mutu hidup. Ibadah tidak semakin khusyuk dan ikhlas, hati tidak semakin tertata baik, ilmu tidak semakin bertambah, jangan heran, kalau yang tersisa hanyalah angan-angan belaka! Tidak lebih dari itu.
Waspadalah terhadap waktu setiap waktu yang dilalui harus membuahkan peningkatan kualitas diri. Hendaknya kita tak sekedar bekerja keras, tetapi yang jauh lebih baik adalah bahwa kita harus mampu bekerja keras sekaligus efektif. Betapa banyak orang yang sibuk bekerja, namun seraya dengan itu dia pun sibuk dengan barang yang tertinggal, sibuk lupa, dan sibuk mencari sesuatu. Tegasnya, banyak orang yang tampak sibuk, tetapi ternyata tidak efektif.
Untuk menjadi orang yang efektif dalam mengatur waktu, kita memang harus adil dalam membaginya. Ada hak untuk belajar, hak untuk berkumpul dengan keluarga, hak untuk ibadah, hak untuk peningkatan diri, hak untuk melakukan evaluasi, hak untuk beristirahat dan semuanya harus dibagi secara adil dan proporsional. Sibuk dan hebatnya bekerja misalnya tanpa dibarengi dengan istirahat bahkan tanpa diiringi mantapnya ibadah kepada Allah, semua itu hanya menunggu waktu yang suatu saat akan menjadi boomerang yang berbalik menyerang kita.
Karenanya Allah azza wa jalla berfirman :
Kunci efektivitas adalah manakala kita selesai menuntaskan suatu urusan, segera bersiaplah untuk mengerjakan urusan lainnya. Lebih dari semua itu adalah bagaimana menjadikan segalanya sebagai ladang amal dalam rangka beribadah kepada Allah Rabbul Izzati. Bagaimanapun, pada akhirnya kepada Tuhanmulah engkau akan kembali. Ibda bi nafsik….!!
ÿÿWallahu ‘alam bisshawaabÿÿ

Hakikat Sukses Bagi Muslim Sejati (Modif_hati)


Tiada Tuhan selain Allah, yang Maha sempurna segala-galanya. Betapa segala perbuatanNya senantiasa indah mengesankan. Shalawat dan salam bagi kekasih Allah, Muhammad Shallalahu ‘alaihi wa sallam, yang keberadaannya menjadi contoh teladan utama tentang bagaimana menjadi pribadi muslim sejati yang senantiasa berada dalam cahaya ridhaNya.
Sungguh alangkah bahagianya bagi siapa saja yang menyadari betapa indah dan lezatnya manakala mengetahui ilmu tentang bagaimana menjadi seorang hamba Allah yang tertuntun dalam cahaya Islam yang hakiki. Dia tidak akan merelakan sesaatpun, kecuali menjadi jalan untuk mendapatkan curahan kasih sayang dan keridhaanNya. Karenanya, Dia pun akan sangat mewaspadai segala sikapnya.
Pandangannya disiapkan untuk menjadi mata yang dapat memandang Allah Azza wa Jalla di akhirat kelak. Untuk itu, dia akan senantiasa berikhtiar dengan sekuat-kuatnya untuk menahan dan memelihara pandangannya dari segala hal yang tidak diridhaiNya. Dipalingkannya sedemikian rupa sepasang matanya itu dari segala hal yang diharamkan dan berpotensi mengundang murkaNYa. Dijadikannya kegemaran dan kenikmatan membaca “surat” dari Sang Maha Pencipta, Alquranul Kariim, sebagai bagian yang sangat dipentingkan dan sangat di istiqomahkan dari rangkaian aktivitas hidup kesehariannya. Digunakannya pula kedua mata itu senantiasa untuk memandang kesempurnaan dan keindahan karya cipta dzat maha sempurna dan maha pencipta. Pendek kata, tatapannya senantiasa diupayakan sekuat-kuatnya agar bersih dan terbebas dari segala bentuk kemaksiatan dan kesia-siaan.
Pendengarannya dia jaga dan persiapkan menjadi telinga yang dapat mendengarkan merdunya suara NAbi Daud as, dan percakapan ahli syurga. Ditutupnya rapat-rapat kedua telinganya dari kalimat-kalimat yang hina serta suara-suara kotor dan sia-sia, yang dapat mengakibatkan hati menjadi kesat dan membatu. Sebaliknya, dia buka lebar-lebar terhadap kalimat-kalimat dan suara-suara yang dapat membuatnya semakin mengenal dan mengerti Rabbnya.
Pikirannya dikuasai dengan baik dan benar, sehingga tidak membiarkannya terjebak memperumit dan mempersulit masalah urusan duniawi, yang notebene pasti sia-sia dan tiada arti. Lisannya amat jauh dari selera rendah, perhitungannya senantiasa matang. Dia senantiasa berfikir terlebih dahulu sebelum berucap, sehingga kata-katanya benar-benar bermutu, indah menyejukkan dan merasuk lembut menyentuh kalbu. Terkadang bergelora membakar semangat untuk taat, penuh hikmah dan manfaat, membuat siapapun merasa beruntung mendengarkannya. Sungguh jauh dari kalimat-kalimat keji, kotor, hina dan sia-sia. Bahkan diamnya sekalipun niscaya akan semakin mengingatkan dan merindukan siapapun untuk taat kepada Allah. Sementara lidahnya selalu basah menyebut asmaNya. Tidak pernah rela ada noda penyakit hati bersemayam di kalbunya, kalaupun sempat terlintas maka segera dihapus, dibasmi dan selekasnya bertaubat.
Tak pernah jemu dia memohon pertolongan Allah yang maha pengasih dan maha penyayang agar hatinya tetap jernih kilau kemilau dan bersih cemerlang. Hal ini dilakukannya karena dia yakin benar, bahwa tidak akan pernah ada ketenangan dan kemuliaan, kecuali dengan hati yang bersih dan jernih. Tidak akan pernah seseorang merasakan kenikmatan dan kelezatan taat, kecuali dengan hati yang bersih dan jernih. Tidak akan pernah pula seseorang mengenal, mencintai dan merindukan pertemuan dengan Allah, kecuali dengan hati yang bersih dan jernih. Untuk itu, hatinya pun senantiasa dia hiasi dengan husnudzon kepada hamba-hamba Allah setelah memelihara sikap husnudzonnya terhadap Allah. Segala perbuatannya pun selalu berhiaskan ikhlas, tawadhu dan bersih.
Wajahnya.. subhanallah, senantiasa saja wajah itu tampak cerah ceria, selalu saja dihiasi dengan sunggingan senyum yang tulus. Gerak geriknya selalu terjaga dan terpelihara. Penampilannya sederhana, namun menyenangkan. Selalu cepat hadir kebaikannya dimanapun dia berada. Siapapun merasa aman dan tenteram dengan kehadirannya. Sungguh senantiasa mengesankan perilaku dan tindak tanduknya.
Sekiranya saja Allah Azza wa Jalla berkenan memilih kita menjadi orang yang memiliki sikap dan akhlak seperti ini, niscaya tidak akan diragukan lagi jaminan kemuliaan dan kebahagiaan dalam sisa umur kita di dunia ini. Lebih-lebih di akherat kelak. Sungguh sama sekali tidak sulit bagi Allah memilih kita menjadi orang yang mulia.
Oleh karena itu, berjuanglah sekuat-kuatnya, sehingga Allah memandang layak untuk menempatkan kita dalam singgasana kemuliaan. Jadilah hamba Allah yang terbaik dan mengesankan bagiNya.
ÿÿWallahu ‘alam bisshawaabÿÿ

Tawadhu Hakikat Hidup Prestatif (Modif_hati)


Allah Azza wa Jalla adalah dzat yang maha besar dan hanya dialah yang berhak menyatakan kebesaran diriNya. Adapun segenap makhluk ciptaanNya adalah teramat kecil dan sama sekali tidak layak merasa diri besar. Seorang hamba yang lisannya berucap, “Allahu Akbar”! seraya jiwanya bergetar teramat sangat takut akan kemahabesaranNya, dialah orang yang menyadari kekerdilan dirinya dihadapan yang serba maha. Sungguh, Allah pun sangat suka terhadapnya, sehingga diangkatnyalah derajat kemuliaannya ke tingkat yang sangat tinggi di hadapan manusia, lebih lebih dihadapanNya. Bukankah Allah telah berfirman “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk” (QS. Al Bayyinah).
Sebaliknya betapa kemurkaan Allah terhadap orang-orang yang menyombongkan diri di muka bumi. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS. Annisa). Karenanya, syurga mengharamkan dirinya untuk dimasuki oleh orang-orang yang di dalam hatinya  terdapat sifat kibir atau kesombongan walaupun hanya sebesar dzarrah.
Bukankah segenap makhluk Allah di jagat raya alam semesta ini tiada memiliki daya dan upaya, kecuali karena karunia kekuatan dari Allah Azza wa Jalla? Laa haula walaa quwwata illaa billahi ‘aliyyil adziim. Allah lah yang telah menciptakan tubuh ini, yang mengalirkan darah dalam peredaran yang sempurna, yang mendetakkan jantung, yang menggerakkan tubuh, pendek kata yang mengurus sekujur badan ini pun hanya Allah semata! Manusia sama sekali tidak ada apa-apanya sekirany Allah menghendaki sesuatu atas jiwa dan raganya.  
Ternyata rahasia hidup sukses dan prestatif atau sebaliknya hidup gagal, terhina dan tiada hargaketika di dunia maupun saat di akhirat kelak, tiada terlepas dari seberapa mampu seseorang menempatkan dirinya sendiri di hadapan Allah Azza wa Jalla. Tawadhu, inilah kunci hakikat bagi siapa saja yang ingin memiliki pribadi unggul. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan kunci yang tak kalah pentingnya adalah kesanggupan kita mendengar, menyerap dan menimba ilmu dari orang lain dalam rangka memperkaya ilmu dan memperluas visi. Semua ini akan membuat kita semakin cepat melesat jauh ke depan disbandingkan dengan orang-orang yang sombong, merasa pandai sendiri dan menganggap cukup dengan ilmu yang dimilikinya, sehingga merasa diri tidak lagi membutuhkan pendapat, pandangan dan visi dari orang lain.
Ketahuilah kita ini adalah makhluk yang serba terbatas. Buktinya kita tidak akan pernah bias melihat kotoran di mata atau hidung sendiri. Islam mengajarkan kita agar tidak sombong. Kita harus berani mendengarkan segala sesuatu dari orang lain. Tidak dilarang kalau kita mempunyai pendapat, akan tetapi bersamaan dengan itu orang lain pun boleh-boleh saja memiliki pendapat yang berbeda dari kita. Oleh karena itu, berhati hatilah dengan segala hal yang berbau kesombongan, merasa diri hebat, super, pemborong syurga, paling benar dan paling mampu. Semua itu hanya akan membuat berkurangnya kemampuan yang ada pada diri kita.  
Adapun hal yang sangat utama dan paling menentukan bobot dari semua perilaku dan kiprah kita dalam meningkatkan kualitas keunggulan diri adalah hati yang bersih. Kedongkolan, kemangkelan, kejengkelan, kebencian dan semua hal yang membuat tidak nyamannya hati, jelas-jelas merupakan sikap kejiwaan yang kontraproduktif. Kita sebetulnya harus menjadi orang yang tamak terhadap ilmu serta serakah terhadap pengalaman dan wawasan. Setiap bertemu dengan orang, lihatlah kelebihannya, simaklah kemampuannya lalu hisaplah ilmunya ambil alih kelebihannya. Tentu ini tidak akan mengakibatkan orang tersebut menjadi bangkrut dan tidak memiliki kelebihan lagi. Sebaliknya, kemampuan orang yang dimintai ilmunya itu akan semakin berkembang sementara kitapun akan semakin maju.
Tidaklah mungkin kita ditakdirkan Allah bertemu dengan seseorang, kecuali pasti akan menjadi ilmu pengetahuan dan pengalaman yang baru. Tampaknya umat Islam akan mampu melesat lebih efektif produktivitasnya maupun kualitasnya ketika mereka bisa sinergis dan saling membantu satu sama lainnya. Semua itu kuncinya adalah bebasnya hati dari kedengkian dan kebusukan. Kita harus belajar senang melihat orang lain maju. Kitapun harus belajar ikut bersyukur melihat kesuksesan dan prestasi orang lain seraya membuat kita terbakar untuk bisa lebih  maju lagi. Semoga Allah yang Maha Mendengar dan Maha Menyaksikan segala-galanya menggolongkan kita menjadi orang-orang yang bisa menjadi bukti keunggulan Islam.   
ÿÿWallahu ‘alam bisshawaabÿÿ

Ilmu Pembersih Hati (Modif_hati)

Saudaraku yang baik, ada sebait do'a yang pernah diajarkan Rasulullah SAW dan disunnahkan untuk dipanjatkan kepada Allah Azza wa Jalla sebelum seseorang hendak belajar. do'a tersebut berbunyi : Allaahummanfa'nii bimaa allamtanii wa'allimnii maa yanfa'uni wa zidnii ilman maa yanfa'unii. Dengan do'a ini seorang hamba berharap dikaruniai oleh-Nya ilmu yang bermanfaat.

Apakah hakikat ilmu yang bermamfaat itu? Secara syariat, suatu ilmu disebut bermanfaat apabila mengandung mashlahat - memiliki nilai-nilai kebaikan bagi sesama manusia ataupun alam. Akan tetapi, mamfaat tersebut menjadi kecil artinya bila ternyata tidak membuat pemiliknya semakin merasakan kedekatan kepada Dzat Maha Pemberi Ilmu, Allah Azza wa Jalla. Dengan ilmunya ia mungkin meningkat derajat kemuliaannya di mata manusia, tetapi belum tentu meningkat pula di hadapan-Nya.

Oleh karena itu, dalam kacamata ma'rifat, gambaran ilmu yang bermamfaat itu sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh seorang ahli hikmah. "Ilmu yang berguna," ungkapnya, "ialah yang meluas di dalam dada sinar cahayanya dan membuka penutup hati." seakan memperjelas ungkapan ahli hikmah tersebut, Imam Malik bin Anas r.a. berkata, "Yang bernama ilmu itu bukanlah kepandaian atau banyak meriwayatkan (sesuatu), melainkan hanyalah nuur yang diturunkan Allah ke dalam hati manusia. Adapun bergunanya ilmu itu adalah untuk mendekatkan manusia kepada Allah dan menjauhkannya dari kesombongan diri."

Ilmu itu hakikatnya adalah kalimat-kalimat Allah Azza wa Jalla. Terhadap ilmunya sungguh tidak akan pernah ada satu pun makhluk di jagat raya ini yang bisa mengukur Kemahaluasan-Nya. sesuai dengan firman-Nya, "Katakanlah : Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menuliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (dituliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)." (QS. Al Kahfi [18] : 109).

Adapun ilmu yang dititipkan kepada manusia mungkin tidak lebih dari setitik air di tengah samudera luas. Kendatipun demikian, barangsiapa yang dikaruniai ilmu oleh Allah, yang dengan ilmu tersebut semakin bertambah dekat dan kian takutlah ia kepada-Nya, niscaya "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS. Al Mujadilah [58] : 11). Sungguh janji Allah itu tidak akan pernah meleset sedikit pun!

Akan tetapi, walaupun hanya "setetes" ilmu Allah yang dititipkan kepada mnusia, namun sangat banyak ragamnya. ilmu itu baik kita kaji sepanjang membuat kita semakin takut kepada Allah. Inilah ilmu yang paling berkah yang harus kita cari. sepanjang kita menuntut ilmu itu jelas (benar) niat maupun caranya, niscaya kita akan mendapatkan mamfaat darinya.

Hal lain yang hendaknya kita kaji dengan seksama adalah bagaimana caranya agar kita dapat memperoleh ilmu yang sinar cahayanya dapat meluas di dalam dada serta dapat membuka penutup hati? Imam Syafii ketika masih menuntut ilmu, pernah mengeluh kepada gurunya. "Wahai, Guru. Mengapa ilmu yang sedang kukaji ini susah sekali memahaminya dan bahkan cepat lupa?" Sang guru menjawab, "Ilmu itu ibarat cahaya. Ia hanya dapat menerangi gelas yang bening dan bersih." Artinya, ilmu itu tidak akan menerangi hati yang keruh dan banyak maksiatnya.

Karenanya, jangan heran kalau kita dapati ada orang yang rajin mendatangi majelis-majelis ta'lim dan pengajian, tetapi akhlak dan perilakunya tetap buruk. Mengapa demikian? itu dikarenakan hatinya tidak dapat terterangi oleh ilmu. Laksana air kopi yang kental dalam gelas yang kotor. Kendati diterangi dengan cahaya sekuat apapun, sinarnya tidak akan bisa menembus dan menerangi isi gelas. Begitulah kalau kita sudah tamak dan rakus kepada dunia serta gemar maksiat, maka sang ilmu tidak akan pernah menerangi hati.

Padahal kalau hati kita bersih, ia ibarat gelas yang bersih diisi dengan air yang bening. Setitik cahaya pun akan mampu menerangi seisi gelas. Walhasil, bila kita menginginkan ilmu yang bisa menjadi ladang amal shalih, maka usahakanlah ketika menimbanya, hati kita selalu dalam keadaan bersih. hati yang bersih adalah hati yang terbebas dari ketamakan terhadap urusan dunia dan tidak pernah digunakan untuk menzhalimi sesama. Semakin hati bersih, kita akan semakin dipekakan oleh Allah untuk bisa mendapatkan ilmu yang bermamfaat. darimana pun ilmu itu datangnya. Disamping itu, kita pun akan diberi kesanggupan untuk menolak segala sesuatu yang akan membawa mudharat.

Sebaik-baik ilmu adalah yang bisa membuat hati kita bercahaya. Karenanya, kita wajib menuntut ilmu sekuat-kuatnya yang membuat hati kita menjadi bersih, sehingga ilmu-ilmu yang lain (yang telah ada dalam diri kita) menjadi bermamfaat.

Bila mendapat air yang kita timba dari sumur tampak keruh, kita akan mencari tawas (kaporit) untuk menjernihkannya. Demikian pun dalam mencari ilmu. Kita harus mencari ilmu yang bisa menjadi "tawas"-nya supaya kalau hati sudah bening, ilmu-ilmu lain yang kita kaji bisa diserap seraya membawa mamfaat.

Mengapa demikian? Sebab dalam mengkaji ilmu apapun kalau kita sebagai penampungnya dalam keadaan kotor dan keruh, maka tidak bisa tidak ilmu yang didapatkan hanya akan menjadi alat pemuas nafsu belaka. Sibuk mengkaji ilmu fikih, hanya akan membuat kita ingin menang sendiri, gemar menyalahkan pendapat orang lain, sekaligus aniaya dan suka menyakiti hati sesama. Demikian juga bila mendalami ilmu ma'rifat. Sekiranya dalam keadan hati busuk, jangan heran kalau hanya membuat diri kita takabur, merasa diri paling shalih, dan menganggap orang lain sesat.

Oleh karena itu, tampaknya menjadi fardhu ain hukumnya untuk mengkaji ilmu kesucian hati dalam rangka ma'rifat, mengenal Allah. Datangilah majelis pengajian yang di dalamnya kita dibimbing untuk riyadhah, berlatih mengenal dan berdekat-dekat dengan Allah Azza wa Jalla. Kita selalu dibimbing untuk banyak berdzikir, mengingat Allah dan mengenal kebesaran-Nya, sehingga sadar betapa teramat kecilnya kita ini di hadapan-Nya.

Kita lahir ke dunia tidak membawa apa-apa dan bila datang saat ajal pun pastilah tidak membawa apa-apa. Mengapa harus ujub, riya, takabur, dan sum'ah. Merasa diri besar, sedangkan yang lain kecil. Merasa diri lebih pintar sedangkan yang lain bodoh. Itu semua hanya karena sepersekian dari setetes ilmu yang kita miliki? Padahal, bukankah ilmu yang kita miliki pada hakikatnya adalah titipan Allah jua, yang sama sekali tidak sulit bagi-Nya untuk mengambilnya kembali dari kita?

Subhanallaah! Mudah-mudahan kita dimudahkan oleh-Nya untuk mendapatkan ilmu yang bisa menjadi penerang dalam kegelapan dan menjadi jalan untuk dapat lebih bertaqarub kepada-Nya.

Menakar Kemuliaan (Modif_hati)


Setiap orang ingin merasakan kebahagiaan. Ada yang menyangka dengan datangnyauang maka ia akan menjadi bahgia sehingga iapun mencari uang mati-matian.Ada juga yang menyangka bahwa kedudukan bisa membuatnya bahagia, maka ia pun mencoba merebut kedudukan. Ada yang menyangka penampilanlah yang akan membuatnya bahagia, maka mati-matian ia mengikuti mode. Ada yang menyangka banyaknya pengikut membuatnya bahagia, begitu seterusnya.
Setiap kali kita membutuhkan sesuatu dari selain kita, kita menyangka bahwa itulah yang akan membuat kita bahagia. Kita menggantungkan harapan pada selain kita, selain Allah. Padahal semakin kita berarap orang lain berbuat sesuatu untuk kita maka sebenarnya peluang bahagia itu malah akan terus menurun. Kenapa? Ibarat cahaya matahari yang memancar tanpa membutuhkan input dari luar, kebahagiaan yang hakiki itu justru datng bukan dari seseorang atau dari sesuatu.
Salah satu bentuk kebahagiaan yang sejati adalah ketika kita hanya menggantungkan segala urusan kepada Allah. Bagi orang yang  mengenal Allah dengan baik, dan ia tidak berharap banyak dari selain Allah, itulah salah satu kebahagiaan. Maka bagi kita yang selama ini masih sangat ingin dihargai, masih sangat ingin dihormati, masih sangat ingin dibedakan oleh orang lain, masih sangat ingin diberi ucapan terima kasih ketika melakukan sesuatu untuk orang lain, atau masih sangat ingin dipuji, maka sebenarnya makin tinggi kebutuhan kita akan penghargaan dari orang lain, itulah yang akan menyempitkan hidup kita. Barang siapa yang berhasil lepas dari kebutuhan-kebutuhan semacam itu, dan kita sudah mulai bisa menikmati indahnya memberikan senyuman kepada orang lain dan bukannya diberi senyuman; atau merasakan nikmatnya bisa menyapa orang lain dan bukan disapa, nikmatnya menyalami dan bukan menunggu disalami, semakin kita tidak berharap orang berbuat sesuatu untuk kita, maka inilah fondasi kita dalam menikmati hidup ini. Kenyataan yang ada di masyarakat kita dengan terjadinya beraneka kemunkaran, kezhaliman dan kejahatan, itu disebabkan karena kita terlalu banyak berharap kepada makhluk dan tidak kepada Allah.
Saudara-saudaraku yang dimuliakan Allah, suatu ketika Rasulullah Saw. ditanya, "Ya Rasulullah, mengapa engkau diutus ke bumi?" Maka jawaban Rasulullah sangat singkat sekali, "Sesungguhnya aku diutus ke bumi hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak." Menurut Imam Al Ghazali, berdasarkan apa yangbisa saya fahami, akhlak itu adalah respon spontan terhadap suatu kejadian. Pada saat kita diam, tidak akan kelihatan bagaimana akhlak kita. Akan tetapi ketika kita ditimpa sesuatu baik yang menyenangkan ataupun sebaliknya, respon terhadap kejadian itulah yang menjadi alat ukur akhlak kita. Kalau respon spontan kita itu yang keluar adalah kata-kata yang baik, mulia, berarti memang sudah dari dalamlah kemuliaan kita itu. Tanpa harus dipikir banyak, tanpa harus direkayasa, sudah muncul kemuliaan itu. Sebaliknya kalau kita memang sedang dikalem-kalem, tiba-tiba terjadi sesuatu pada diri kita, misalnya sandal kita hilang, atau ada orang yang menyenggol, mendengar bunyi klakson yang nyaring lalu tiba-tiba sumpah serapah yang keluar dari mulut kita, maka lemparan yang keluar sebagai respon spontan kita itulah yang akan menunjukkan bagaimana akhlak kita. Maka jika bertemu dengan orang yang meminta sumbangan lalu kita berfikir keras diberi atau jangan. Kita berfikir, kalau dikasih seribu, malu karena nama kita ditulis, kalau diberi lima ribu nanti uang kita habis. Terus... berfikir keras hingga akhirnya kita pun memberi akan tetapi niatnya sudah bukan lagi dari hati kita karena sudah banyak pertimbangan.Padahal keinginan kita semula adalah untuk menolong. Kalau sudah demikian, sebetulnya bukan akhlak dermawan yang muncul.
Saudar-saudaraku sekalian, inilah sekarang paling menjadi masalah bagi peradaban kita. Kita empunyai anak, dia memiliki gelar yang bagus, sekolahnya pun di tempat yang bergengsi, tapi akhlaknya jelek, maka tidak ada artinya. Kita punya dosen, gelarnya berderet banyak, rumahnya pun mentereng, tapi jikalau akhlaknya, celetuk-celetukannya atau sinisnya tidak mencerminkan struktur keilmuan seperti yang dimilikinya, maka jatuhlah ia. Ada orang yang dianggap dituakan, tetapi akhlaknya jelek, maka walaupun ia dituakan, dia gagal mendapatkan penghormatan. Atau kita punya atasan, seorang pejabat yang bagus karirnya akan tetapi akhlaknya, ...masya Allah, sudah punya isteri tapi ia dikenal berzina dengan perempuan lain, di kantor ia mengambil harta dengan cara tidak halal, maka jatuhlah ia.
Sekarang ini krisis terbesar kita memang krisis akhlak. Oleh karena itu, saya sependapat dengan seorang pengusaha terkenal dari Jepang yang mengatakan bahwa jikalau seseorang ingin memimpin perusahaan dengan baik, maka sebetulnya skill atau keahlian itu cukup 10% saja, yang 90% adalah akhlak. Karena akhlak yang baik, orang yang cerdas pun mau bergabung denganya. Mereka merasa aman, merasa tersejahterakan lahir batinnya. Akibatnya, berkumpulah para ahli. Kemudian kepada mereka diberikan motivasi dengan akhlak yang baik maka jadilah sebuah prestasi yang besar. Oleh karena itu sebenarnya kesuksesan itu adalah milik orang yang berakhlak mulia.
Sekedar ilustrasi, suatu saat sedang terjadi dialog antara suami dan isteri. Sang isteri menginginkan anaknya menjadi bintang kelas, akan tetapi sang suami mengatakan bahwa bintang kelas itu bukan alat ukur kesuksesan anak sekolah. Menjadi bintang kelas itu tidak harus, tidak wajib. Yang wajib bagi anak itu adalah memiliki akhlak yang mulia. Apalah artinya ia menjadi bintang kelas apabila kemudian ia jadi terbelenggu oleh keinginan dipuji teman-temannya. Jadi dengki terhadap orang-orang yang pandai dikelasnya, atau menjadi takabbur karena kepandaiannya itu. Apa artinya bintang kelas seperti ini? Lebih baik lagi jika kita bangun mental anak kita lebih bagus, matang pada tiap tahapannya. Kalaupun suatu saat ia ditakdirkan menjadi bintang kelas, maka itu adalah buah dari pemikirannya. Sementara itu ia pun sudah siap denga mentalnya: tidak dengki, tidak iri, tidak jadi sombong. Nilai ini tentunya jadi lebih bagus daripada nilai menjadi bintang kelasnya. Apalah artinya kita lulus terbaik jika kemudian menjadi jalan ujub takabbur. Lulus itu hanya nilai,nilai, nilai....
Saudara-saudara sekalian, inilah yang sepatutnya menjadi bahan pemikiran kita. Kita berbicara seperti ini sebenarnya bukan untuk memikirkan seseorang. Siapa yang akhlaknya demikian, demikian...Kita berbicara seperti ini adalah untuk memikirkan diri kita sendiri. Apakah saya itu berakhlak benar atau tidak? Bagaimana cara melihatnya?Ya, lihat saja kalau kita mendapati masalah. Bagaimana respon spontan kita? Bagaimana struktur kata-kata kita, raut wajah kita? Apakah kita cukup temperamental? Apakah kata-kata kita keji, menyakiti, arogan? Itulah diri kita. Kesuksesan dan kegagalan itu bergantung pada hal semacam ini. Bergantung apa yang kita lakukan. Apakah dengan DT bisa menjadi sebesar ini sudah menjadi tanda kesuksesan? Belum. Masih jauh. Kalau hanya alat ukur kemajuan bertambahnya bangunan atau tanah, ah... orang-orang kafir juga bisa melakukannya. Kalau hanya sekedar jama'ah berhimpun banyak, itupun gampang. Tetapi apakah dakwah ini elah mampu merobah akhlak kita? Itulah alat ukurnya.
Sering diungkapkan, bagaimana ukuran kesuksesan seseorang dalam berdakwah? Gampang. Kesuksesan seseorang yang berdakwah adalah apakah dirinya pun bisa berubah menjadi lebih baik atau tidak? Kalau hanya berbicara seperti ini, mengeluarkan dalil tapi yang bersangkutan akhlaknya tidak berubah, itu malah mencemarkan agama. Kesuksesan dakwah bukan karena banyaknya pendengar atau jumlah jama'ah karena dakwah itu bukan sekedar menikmati kata-kata. Kesuksesan berdakwah adalah ketika yang berdakwah ini pun semakin baik akhlaknya, semakin tinggi nilai kepribadiannya. Insya Allah. Mudah-mudahan keluhuran pribadi itulah yang menjadi alat dakwah kita. Bukan hanya mengandalkan kekuatan kata-kata belaka.
Barakallahu lii wa lakum.